Kamis, 16 Februari 2012

AKU

Dini hari,11 Maret 1991,seorang wanita sedang berjuang mati-matian,berada diantara hidup dan mati, hanya untuk digunakan sebagai jalan,hadirnya seorang anak manusia di dunia ini. Catharina Adri Kurniasari, itulah nama ibuku, Ibu yang melahirkan dan membesarkanku bersama suaminya, Bonifasius Eko Prasetyono. Sebuah keluarga yang sederhana, tidak ada yang spesial, namun begitu berharga ketika dirasakan.

Aku dibesarkan dalam keluarga ini sejak kecil. Ketika lahir, orang tuaku memberi nama yang begitu panjang, sangat panjang pikirku, Firmianus Ganang Yudha Kurniantyo. Firmianus adalah nama baptisku ketika dibaptis waktu masih bayi. Ganang adalah nama yang muncul karena aku anak laki-laki dari orangtuaku. Yudha yang berarti perang ,menggambarkan aku ini anak dari seseorang yang ada di medan perang, sesuai dengan profesi ayahku yang seorang tentara. Dan Kurniantyo, nama yang berasal dari nama kedua orang tuaku, Kurniasari dan Prasetyono. Kata mereka filosofinya aku ini yang menyatukan mereka berdua. Sebuah nama yang indah, penuh dengan filosofi dan harapan, walaupun terlalu panjang, namun tetap indah bagiku.

Di dalam keluarga aku hidup bersama kedua orangtuaku dan seorang adik perempuan, Fransiska Galuh Chandra Prasetyari namanya. Sedari kecil aku dididik dengan cara yang keras, lebih menjurus ke militeris menurutku. Walaupun terkadang aku merasa terkekang, namun cara mendidik ini ada benarnya dan manfaatnya juga menurutku. Aku jadi belajar untuk disiplin, dan tak lupa juga bertanggung jawab. Jika aku lalai atau melakukan kesalahan, tak jarang telingaku mendengar cacian pedas dari ayahku, bahkan tak jarang mendarat tamparan di tubuhku dari tangannya yang lembut ,tertempa kerasnya hidup di hutan Timor-timur selama 3 tahun. Ada kalanya aku merasa benci pada ayahku karena cara mendidiknya, namun sekarang aku berterimakasih, karena tamparan dari tangannya yang lembut, aku jadi tahu bayaran yang akan kuterima jika melakukan kesalahan atau lalai. Terima kasih ayah, tamparlah aku lagi. Bertolak belakang dengan ayahku, ibuku adalah pribadi yang tegas dalam kelembutannya. Beliau adalah seorang guru. Ibu selalu mengajarkanku tentang arti bersabar dan bersabar, bahkan ketika keadaan seakan tidak adil, kita harus bersabar. Kata-kata inilah yang membekas dalam ingatanku, membuatku menjadi seseorang yang tak lekas marah, mampu berpikir jernih ketika air sudah begitu keruh. Bahkan ketika aku membuat kesalahan, beliau tidak pernah menunjukkan kemarahannya, beliau marah dengan membelai rambutku ketika menangis setelah dimaki dan ditampar ayahku, sambil menasehati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Kata-kata ibuku selalu dapat meredam emosiku, selalu mampu menyejukan hatiku yang serasa terbakar. Entah darimana datangnya kekuatan itu, tapi dalam pandanganku, ibuku adalah seorang yang hebat, ibu yang paling hebat di dunia. Aku merasa bahwa ayah dan ibuku dapat memberikan sebuah keseimbangan, dimana disatu pihak ayahku begitu keras, sedangkan ibuku begitu lembut. Keseimbangan ini mampu mendidik aku menjadi manusia yang seimbang, tidak menjadi manusia yang jahat dan membenarkan perbuatannya sendiri, namun juga tidak menjadi manusia yang cengeng, dan hanya bisa meratap ketika mendapatkan suatu masalah.
********
Ketika berumur 4 tahun aku mulai dimasukkan orang tuaku ke dalam lingkungan sekolah, mulai memasuki duniaku yang baru. Aku dimasukkan ke dalam suatu lingkungan yang benar-benar asing bagiku, karena sebelumnya aku hanya hidup dalam keluarga, dan hanya mengenal keluargaku dan beberapa tetanggaku saja. Dalam lingkungan yang baru aku dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, lingkup kehidupan dimana disekitarku ada banyak orang lain yang juga berkiprah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagiku, karena aku termasuk dalam kategori orang yang pemalu, dan terkesan tertutup kepada orang asing. Aku bersekolah di TK Santa Anna Girisonta, sekolah dimana pertama kali aku duduk dalam bangku pendidikan, sekolah dimana pertama kali aku mengenal tentang pertemanan. Sejak kecil aku termasuk anak yang pesat perkembangan kognitifnya, aku sudah bisa membaca sejak usia 4 tahun, sehingga ketika masuk TK aku satu-satunya siswa yang sudah bisa membaca. Kelebihanku ini membuatku menjadi perhatian tersendiri bagi guru-guru di TK, terkadang aku dijadikan contoh bagi teman-temanku dalam pembelajaran. Hal inilah awal mula terbangun rasa percaya diri dalam diriku, aku mulai merasa bahwa aku mempunyai kelebihan yang bisa dikembangkan. Sedikit demi sedikit perilaku tertutupku mulai pudar, seiring dengan semakin aku mengenal teman-temanku.

2 tahun kemudian aku masuk ke dalam lingkungan Sekolah Dasar. Ketika masuk dalam lingkungan ini aku sudah tidak terlalu sulit lagi untuk bersosialisasi, karena sebagian besar temanku sewaktu TK juga masuk kedalam sekolah yang sama. Aku bersekolah di SD Kanisius Girisonta selama 6 tahun. Semasa SD kepercayaan diriku semakin tinggi, dikarenakan aku termasuk dalam kategori siswa yang pintar di kelas. Terkadang aku menjadi panutan bagi teman-temanku karena kecerdasanku. Mereka ingin dekat dengan aku, seperti semut yang mendekati gula. Aku merasa senang menjadi pusat perhatian teman-temanku, walaupun terkadang dalam hati terasa jengkel, ketika aku menyadari bahwa ada beberapa teman yang mendekatiku hanya untuk memanfaatkan kecerdasanku. Namun anehnya perasaan jengkel itu lambat laun hilang, berganti dengan perasaan bangga, ketika aku bisa membantu mereka dalam hal pelajaran. Ketika aku menginjak kelas 5 SD, mulai muncul gejolak-gejolak aneh dalam diriku. Aku yang dulu jika duduk sebangku dengan teman perempuan hanya merasa biasa saja, sekarang mulai merasakan perasaan-perasaan aneh. Entah itu malu, atau apalah itu akupun tidak mengerti. Terlebih lagi dengan temanku perempuan yang bernama Dian, jika kami bertatap muka aku bisa malu setengah mati. Mukaku langsung menjadi merah padam, entah kenapa. Ketika aku bercerita kepada teman dekatku tentang perasaan aneh itu, temanku berkata bahwa aku merasakan yang namanya jatuh cinta. Benarkah itu? Entahlah. Namun perasaan aneh itu hanya tetap menjadi perasaan aneh saja, karena waktu itu aku belum mengerti tentang konsep pacaran. Perasaan aneh itu hanya aku simpan dalam hati, dan hanya kuanggap sebagai keanehan diriku saja.
*******
Setelah lulus SD aku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di SMP Pangudi Luhur Ambarawa. Di sekolah ini aku mengenal banyak hal-hal baru, mulai dari teman-teman baru yang berbeda karakteristik dan latar belakang, hingga mengenal tentang konsep pacaran untuk pertama kalinya. Ketika aku kelas 1 SMP, ada seorang teman perempuan yang membuat aku merasakan perasaan aneh itu lagi. Ya, sama dengan perasaan anehku ketika SD. Ketika pertama kali bertemu aku merasakan perasaan aneh itu disertai dengan jantung yang berdegup kencang. Awalnya aku bingung dengan apa yang aku rasakan, namun kemudian aku teringat akan perkataan teman dekatku sewaktu SD, bahwa ini adalah perasaan jatuh cinta. Tyas namanya, tinggi dan putih perawakannya, ditambah lagi dengan senyum diwajahnya yang begitu manis, membuatku seakan melayang di udara melihatnya. Awalnya aku hanya berani berteman dengannya, sebatas teman seperti aku berteman dengan teman-teman lainnya.

Dalam kelas, aku mempunyai teman-teman baru yang kemudian menjadi teman yang sangat dekat denganku, mereka adalah Satriyo, Haris dan Fredi. Kami berempat selalu bersama-sama ketika di sekolah, bagaikan menemukan saudara laki-laki yang telah lama hilang. Aku merasa sangat nyaman ketika bersama mereka, demikian juga yang mereka rasakan. Kembali lagi tentang perasaan anehku ke Tyas, awalnya teman-temanku tidak tahu tentang perasaan ini. Namun lambat laun, ketika aku mulai semakin dekat dengan mereka, aku menceritakan kepada mereka perasaan ini. Aku masih ingat dengan jelas, waktu itu sore hari, setelah pulang sekolah aku sedang duduk-duduk di taman sekolah dengan mereka. Tanpa sebab, tiba-tiba aku menceritakan panjang lebar kepada mereka tentang perasaan anehku. Temanku yang bernama Fredi, kemudian mengatakan kepadaku hal yang membuatku sangat bingung. “Kamu itu sedang merasakan yang namanya jatuh cinta, Nang” ujar Fredi kepadaku. Aku merasakan ragu, karena seumur hidup aku belum pernah mengerti tentang cinta. Apa itu cinta? Seperti apa bentuknya? Jika memang aku rasakan sebuah cinta, lalu aku harus bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang belum terjawab olehku. Melihat raut mukaku yang nampak kebingungan, Fredi kemudian melanjutkan kata-katanya, “Bagaimana kalau kami semua membantu kamu dalam permasalahan ini, Nang? Kami bisa membantu kamu untuk mendapatkan yang kamu inginkan“. Dengan polosnya aku menjawab, “Memangnya apa ya yang aku inginkan?”. “Apa kamu tidak ingin Tyas menjadi pacarmu?”, sahut Fredi dengan cepat. Seketika aku makin tambah bingung, dan hanya mampu menjawab dengan anggukkan kepala saja.

Keesokan harinya, teman-temanku mulai melancarkan rencana mereka membantuku tentang persoalan cinta. Awalnya mereka mulai dengan menggoda Tyas, mengatakan bahwa ada teman sekelas yang suka padanya. Tyas orang yang ramah, ketika teman-temanku menggodanya, dia tidak marah melainkan hanya tersenyum dan balik bertanya siapa orang itu. Namun teman-temanku belum mengatakan bahwa orang itu adalah aku, mereka hanya bilang bahwa nanti dia akan tahu dengan sendirinya. Disamping itu, aku disuruh oleh teman-temanku untuk mendekati Tyas, mencoba lebih mengenalnya, dan agar Tyas juga mengenalku. Mulai dari aku duduk di belakangnya ketika di kelas, mencoba mengajaknya berbincang, hingga membantu dia mengerjakan soal-soal pelajaran. Sejujurnya aku sangat malu melakukan itu semua, ketika ada di dekatnya dan berbincang dengannya, kakiku gemetar tak karuan, apalagi ketika menatap matanya. Aku harus menguatkan diri semampunya, mencoba untuk tidak salah tingkah, dia begitu indah dimataku, tidak, bahkan terlalu indah.

Setelah mengalami proses ini selama kurang lebih 1,5 bulan, teman-temanku menyarankan padaku untuk menyatakan cinta pada Tyas. Aku  bingung, aku tidak yakin apakah aku mampu untuk menyatakan perasaanku, sedangkan menatap matanya saja aku tidak mampu. Namun karena dorongan dari teman-temanku, akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku. Waktu itu siang hari, ketika pelajaran komputer. Posisi dudukku dengan Tyas bersebelahan ketika pelajaran komputer, membuatku semakin berdebar-debar. Waktu itu ketika di tengah-tengah pelajaran aku memanggil dia, kemudian dia pun menoleh dan bertanya padaku ada apa. Aku hanya mampu menunjukkan jariku pada layar komputer, yang sebelumnya sudah aku ketik tulisan “Tyas, aku sayang kamu”. Ini adalah ide Haris. Tyas pun bingung, dan bertanya padaku, “Siapa yang membuat tulisan itu?”. Dan aku pun hanya mampu menjawab dengan satu kata, “Aku”.  Setelah mendengar jawabanku Tyas hanya tersenyum, senyum yang mengandung sejuta arti, aku pun dibuatnya bertanya-tanya, kira-kira apa reaksinya.

Sewaktu pulang sekolah, Tyas berdiri di depan pintu, kemudian tiba-tiba menggenggam tanganku dan mengajakku pergi ke taman sekolah. Dalam taman itu dia mengajakku duduk di bangku di tengah taman. Kemudian dia mulai bertanya padaku, “Nang, kamu tahu tidak, kira-kira siapa yang membuat tulisan di komputer tadi?”. Dia bertanya demikian sambil menatap mataku, seakan-akan ingin menelisik ke dalam pikiranku, membaca isi hatiku, membuatku gemetaran tidak menentu. Dengan gugup kemudian aku menjawab, “Em,itu tadi,yang membuat,ya,aku.” Karena gemetar aku menjawab dengan terbata-bata. Itupun aku lakukan dengan mengumpulkan kekuatan yang kira-kira sama dengan kekuatan yang digunakan untuk mengelilingi lapangan sepak bola 10 kali! “Oh, kamu ternyata yang membuat? Apa kamu suka padaku?” demikian tanya Tyas kepadaku. Dengan polos aku hanya menjawab dengan anggukkan kepala, diapun tersenyum. Ketika aku melihat senyumnya, aku merasakan perasaan yang aneh, lebih aneh daripada perasaan aneh yang sebelumnya. Perasaan itu bercampur tidak karuan, antara malu, senang, berdebar-debar dan takut. Sungguh aneh memang, dan akupun juga tidak mengerti tentang perasaan apa yang aku rasakan itu. Mulai saat itu aku berpacaran dengan Tyas, resmi menyandang predikat pacaran untuk pertama kalinya.

Hari demi hari aku lalui dengan Tyas sebagai pacarku. Di awal memang terasa indah, hanya senang dan senang yang kurasakan. Namun hubunganku dengan Tyas tidak berlangsung lama, dikarenakan perasaan aneh itu lama-lama menghilang. Aku kehilangan perasaan aneh itu, dan perasaanku ke dia menjadi perasaan yang biasa-biasa saja. Hubunganku dan Tyas hanya berlangsung 2 bulan saja. Dalam waktu sedemikian singkat perasaan itu berakhir.

******

Ketika aku memasuki kelas 3 SMP, aku mengalami pengalaman yang kurang mengenakkan. Sejak kelas 1 hingga kelas 2 aku berada di kelas A bersama-sama dengan sahabat-sahabatku. Namun ketika kenaikan kelas 3 ternyata aku dimutasi ke kelas D, dan bagai jatuh tertimpa tangga, ternyata aku satu-satunya siswa kelas A yang dimutasi ke kelas itu! Kenyataan ini sungguh terasa menyesakkan bagiku, karena dengan demikian aku harus berbeda kelas dengan sahabat-sahabatku. Memang kami masih satu sekolah, tapi keadaan kami yang berbeda kelas serasa berat untukku, seakan-akan kebersamaan kami berakhir disaat itu juga. Awalnya aku tidak menerima keputusan mutasi itu, dan mencoba untuk melancarkan protes kepada dewan guru, namun protesku itu tidak dianggap, dan hanya sambil lalu, mereka tetap mempertahankan keputusan aku dimutasi ke kelas D. Hal ini semakin menyesakkan bagiku, karena tentunya aku harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan yang baru. Aku marah, kecewa dan sedih, walaupun sahabat-sahabatku mencoba untuk menghiburku, perasaan kecewa itu tetap ada. Namun ternyata semua itu awal dari sebuah cerita indah, yang aku belum ketahui bahwa dimutasinya aku ke kelas D akan menjadi awal dari pengalaman terindah dalam hidupku.

Matahari mulai terbit di ufuk timur, aku bangun dari tidurku dan kemudian bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Namun hari itu terasa berbeda untukku, seakan-akan aku sedang berjalan ke arah lorong yang gelap, dan aku tidak tahu apa yang ada di ujung lorong itu. Semua terasa berat, karena hari itu adalah hari pertama aku masuk ke dalam kelas yang berbeda, yaitu kelas 3 D. Pikiranku masih saja tetap meracau tentang apa yang harus aku lakukan ketika masuk ke kelas itu, dan masih saja tetap kupikirkan hingga aku telah tiba di depan pintu kelas. Pikiranku kemudian buyar ketika ada seorang anak laki-laki memanggil namaku. Ditto namanya, aku mengenal dia dari ekstrakurikuler sepak bola yang aku ikuti di sekolah. Seakan-akan bebanku sedikit berkurang karena ternyata di dalam kelas itu ada seseorang yang aku kenal. Aku kemudian diajaknya masuk ke dalam kelas, dan duduk di bangku persis di depan dia duduk. Di kelas aku duduk dengan seorang anak keturunan Tiong Hoa bernama Erlangga. Ditto dan Erlangga adalah orang-orang pertama yang aku kenal di kelas itu, sebelum aku dikenalkan oleh Ditto ke teman-teman sekelasnya. Ternyata beban yang aku bayangkan begitu berat tidak seperti yang aku pikirkan, ternyata teman-teman sekelasku tidak jauh berbeda dengan teman-teman sekelasku di kelas 1 dan 2 dulu. Aku mulai membiasakan diri dengan lingkunganku yang baru, dan ternyata sungguh sangat menyenangkan. Di kelas aku kemudian mempunyai sahabat-sahabat yang baru, mereka adalah Ditto, Erlangga dan Edi. Edi adalah seorang anak pindahan juga dari kelas C. Aku dan dia merasa dekat karena sama-sama berstatus anak mutasi.

Di kelas 3 D aku termasuk anak yang cerdas, oleh karena itu teman-temanku sering meminta bantuanku ketika merasa kesulitan dalam pelajaran. Aku dengan senang hati membantu mereka, karena bagiku ini salah satu jalan untuk mengenal mereka semua. Waktu itu pelajaran matematika, guruku memberikan soal-soal latihan, dan kami tidak diperkenankan untuk saling membantu dalam mengerjakan soal itu. Tapi Ditto sungguh-sungguh merasa kesulitan dan kemudian bertanya padaku bagaimana cara menyelesaikan soal itu. Karena kasihan aku kemudian mengajari dia bagaimana menyelesaikan soal tersebut. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, ternyata guruku melihat ketika aku mengajari Ditto. Guruku pun marah besar, dan memarahi kami berdua. Akhirnya tempat dudukku dipindah ke barisan paling depan oleh guruku. Ketika aku duduk di depan, ternyata bangku yang aku duduki persis berada di depan seorang gadis. Betha Jaswati Putri Destiana namanya. Ketika aku melihat wajahnya dari dekat, aku pun tercengang. Cantik sekali gadis ini, pikirku. Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya dengan jelas, sehingga saat aku melihatnya dengan jelas aku pun baru menyadari bahwa Betha adalah gadis yang sangat cantik. Itulah awal mula aku mengenal dia, seorang gadis yang menjadi bintang, bintang yang bersinar terang dihatiku. Bintang yang akan menggoreskan begitu banyak kisah indah di dalam hidupku. Hari berganti hari, aku pun mulai banyak berkomunikasi dengan Betha, mulai dari sekedar menyapa, hingga diskusi tentang pelajaran. Semakin lama aku mengenalnya, aku merasakan perasaan nyaman, yang lama tidak aku rasakan lagi. Sebuah perasaan aneh, yang dulu pernah aku rasakan. Sungguh aneh memang, karena perasaan itu tidak dapat aku atur kapan datangnya dan kepada siapa. Dan pertanyaan yang selalu mengikuti setiap alur pikiranku, mengapa harus dia?

Tentang perasaan anehku kali ini, aku langsung bercerita pada Ditto dan Edi. Merekapun menertawakanku karena jatuh hati pada seorang gadis aneh yang pemurung. Namun aku tidak sejalan dengan pikiran mereka, karena Betha telah memikatku dengan keanehannya, dan menjeratku dengan kemurungannya. Bagiku dia sungguh-sungguh gadis yang berbeda, mampu memikatku bukan hanya dengan daya tarik fisik semata, namun dengan daya tarik personal dan kepribadiannya, yang bagiku, sungguh menawan. Aku memutuskan untuk mulai mendekati dia, mencoba untuk mengenalnya lebih jauh. Hingga pada suatu hari, teman dekat Betha yang bernama Anna, memberitahukan kepadaku bahwa sesungguhnya Betha menaruh hati padaku. Aku pun tidak percaya, karena aku berpikir bisa saja Anna mengarang cerita kepadaku. Aku berusaha mencari tahu sendiri apakah benar kata-kata Anna kepadaku. Semangatku untuk mendekati Betha hampir saja runtuh ketika waktu itu aku melihat tulisan di bukunya, yang tertulis dengan jelas dengan ukuran tulisan yang cukup besar. KACANG, tulisan itu yang ada di dalam bukunya, yang membuatku bertanya-tanya apakah artinya. “Ta, KACANG itu apa? Kok kamu tulis di dalam bukumu?” tanyaku padanya. Dengan muka merah padam, dan nada bicara seperti orang panik dia mengambil buku itu dari genggamanku sambil berkata, “Apa? Bawa kesini bukuku!”. Aku pun bingung dan tidak mengerti dengan yang dia lakukan, namun semua kemudian menjadi jelas ketika dia mengatakan bahwa itu adalah inisial orang yang disukainya. Pikiranku langsung bekerja keras, mencoba menebak kira-kira siapa orang yang berinisial KACANG. Saat itu aku merasakan perasaan yang sungguh irasional. Jika dipikir-pikir kenapa aku harus berpikir dengan keras untuk mengetahui siapa orang yang Betha sukai? Ditambah lagi dengan perasaan bingung, apabila aku mengetahui siapa orang itu, tindakan apa yang harus aku lakukan? Di satu sisi aku merasa penasaran siapa orang yang Betha sukai, namun disisi yang lain aku merasa takut, karena ketika aku mengetahui siapa orang itu, maka perasaanku kepada Betha harus segera berakhir.

Dirumah dan sekolah aku selalu memikirkan tentang inisial nama yang ada di dalam buku Betha. Kemudian tanpa sadar aku menuliskan sebuah inisial nama Betha di bukuku. β, itulah inisial namanya yang aku tuliskan di bukuku. Inisial yang dikemudian hari dibaca oleh Betha, sehingga kami berdua mempunyai inisial nama masing-masing orang yang disukai. 14 Februari 2006, adalah hari valentine. Sebuah hari dimana sepasang anak manusia yang saling mencintai mengungkapkan perasaan mereka masing-masing. Pada hari itu di sekolah diadakan acara Valentine Day, dan tidak ada kegiatan belajar mengajar. Pada waktu pulang sekolah, aku menunaikan tugasku untuk membersihkan kelas. Dalam regu piket hari itu aku dan Betha ada di dalam regu yang sama. Ketika sedang menyapu kelas, tiba-tiba Betha melontarkan pertanyaan yang mengagetkanku. “Nang, kamu kok hari ini tidak mengungkapkan perasaanmu pada gadis yang kamu sukai?” tanyanya sambil menatapku. Aku tersenyum dan menjawab, “Aku rasa belum tepat saja waktunya, mungkin lain kali?” “Hahahahaha, paling-paling kamu tidak berani, iya kan?” katanya dengan senyum yang mengejek. Aku merasa kesal ketika dipojokkan dengan pertanyaan seperti itu. Dengan kesal aku mengatakan bahwa aku akan mengungkapkan perasaanku pada gadis yang aku cintai, dan diapun menantangku untuk melakukannya sekarang juga. “Orang yang aku sukai, ya kamu orangnya!” jawabku tanpa sadar. Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku seakan-akan kehilangan pijakanku, dadaku berdegup kencang. Anehnya Betha tidak menanggapi perkataanku dan hanya tersenyum saja. Senyum yang membuatku menjadi bingung dan bertanya-tanya. Apakah Betha juga merasakan perasaan yang sama atau tidak denganku? Semalaman aku bertanya-tanya, dan kemudian berspekulasi bahwa Betha besok pagi pasti akan menertawakanku, karena aku mencintainya sedangkan dia tidak.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan tidak bersemangat, dan merasakan ada beban yang berat di pundakku. Baru saja aku sampai di sekolah, ketika Ditto tiba-tiba membisikkan kata-kata kepadaku. Dia mengatakan bahwa Betha sudah berbicara padanya, dan meminta tolong padanya untuk menyampaikan pesan kepadaku. Ditto kemudian berkata bahwa Betha juga merasakan perasaan yang sama denganku, dan menerima aku sebagai pacarnya. Perasaan gembiraku saat itu meluap-luap, seakan-akan tidak tertahankan. Aku sungguh lega, akhirnya aku mendapatkan cinta dari seseorang yang aku inginkan, dan aku juga mencintai dirinya.

Hubungan asmaraku dengan Betha sungguh aneh. Mungkin bagi sebagian orang kami seperti bukan sepasang kekasih, melainkan teman biasa saja. Kami tidak pernah menunjukkan kepada orang-orang tentang status kami yang berpacaran, karena komitmen kami bahwa perasaan kasih ini hanya untuk kami berdua, dan bukan untuk diperlihatkan ke orang lain. Di kelaspun kami jarang berkomunikasi berdua saja, karena kami selalu membaur dengan teman-teman yang lainnya. Kami sudah berkomitmen bahwa kami tidak ingin menjadi eksklusif setelah menyandang status berpacaran. Kami berpikir bahwa bukan berarti kebahagiaan hanya untuk kami berdua saja karena kami berpacaran, namun juga orang lain harus merasakan kebahagiaan karena keberadaan kami. Hanya lembar-lembar kertas yang terselip di dalam binder oranye milikku, menjadi sebuah media intim kami berdua. Dalam lembar-lembar kertas itu kami berkomunikasi dalam posisi berpacaran. Bisa dikatakan binder itulah benang tipis yang mengikat kami berdua sebagai sepasang kekasih. Dalam binder itu tertulis semua kisah yang kami lalui berdua, dan benar adanya kami mengalami kisah demi kisah bahagia dalam hidup kami. Semua kisah bahagia itu terus berlanjut hingga hari itu, hari dimana hatiku seakan-akan dihancurkan oleh hantaman emosi sesaat yang menderaku. Hari dimana aku melihat kekasihku bersama lelaki lain, di depan mataku.

Waktu itu hari sabtu malam, aku mengajak Edi untuk pergi ke rumah Betha dengan membawa sepucuk bunga mawar untuk kuberikan padanya. Namun ketika aku berhenti di depan rumahnya, aku melihat Betha sedang asyik bercengkerama dengan seorang lelaki yang kukenal. Gugus namanya. Hatiku seketika merasa panas, aku terbakar amarah. Kemudian aku memutuskan untuk membatalkan niatku bertandang kerumahnya. Bunga mawar yang kubawa, hanya kulemparkan di depan pintu rumahnya. Edi mecoba untuk menasehatiku, agar aku berpikir panjang dan tidak termakan emosi. Namun saat itu aku sudah terlanjur benar-benar marah dan kecewa. Dalam pikiranku, aku merasa dikhianati oleh orang yang benar-benar sungguh kucintai. Keesokan harinya Betha mencoba menjelaskan padaku tentang kejadian semalam. Dia mengatakan bahwa Gugus itu hanyalah saudaranya, dan malam itu sedang mengajarinya pelajaran matematika. Namun aku tidak percaya dengan kata-katanya, dan menganggap semua ceritanya hanyalah kebohongan semata. Lewat secarik kertas, aku menuliskan kata-kata yang aku sesali sampai saat ini, bahwa aku memutuskan hubungan kami berdua cukup sampai disini saja. Emosi sesaat yang begitu menguasaiku waktu itu, membuatku tidak bisa berpikir jernih, dan tidak bisa melihat Betha dengan jelas. Yang terlihat olehku hanyalah Betha yang jahat, karena telah mengkhianati perasaanku.

Setelah aku putus dengan Betha, aku mulai berteman dengan sepi. Menjalani kehidupan tanpa hangat sentuhnya lagi. Aku kecewa dengan kenyataan, bahwa Betha berkata mencintaiku, namun ternyata berkhianat di belakangku. Hubunganku dan Betha benar-benar buruk sejak saat itu. Kami sudah tidak pernah lagi bertegur sapa, kami saling mendiamkan satu sama lain. Ada kalanya aku merindukan Betha, namun ketika teringat akan kejadian dia bersama Gugus, hatiku seakan tersayat pedih. Ketika aku putus dengan Betha, kami sudah akan lulus dari SMP. Setelah lulus dari SMP aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di salah satu SMA favorit di daerahku. Aku memutuskan untuk melanjutkan studi di SMA NEGERI 1 SALATIGA, bersama dengan Haris sahabatku. Sejak pertama kali mendaftarkan diri di sekolah itu hingga kami diterima, aku hanya berdua saja dengan Haris. Namun ketika hari pengumuman tiba aku tercengang dengan pemandangan yang terpampang di depan mataku. Aku melihat Betha, gadis yang sampai saat itu masih mengisi relung hatiku. Setelah aku mencari informasi, ternyata Betha mendaftar di sekolah yang sama denganku, dan dia juga diterima. Terbersit perasaan senang dihatiku, mengetahui Betha juga melanjutkan sekolah di SMA yang sama denganku. Namun perasaan itu hanya aku simpan sendiri, karena berbicara dengannya saja aku tidak mampu. Aku merasa malu dengan perlakuanku kepadanya dulu, yang tidak mau mengindahkan semua kata-katanya untuk mempertahankan hubungan kami. Aku merasa menyesal karena telah menjadi orang yang egois, dan tidak memperhitungkan perasaannya ketika aku mengambil keputusan untuk meninggalkannya. Aku hanya memikirkan diriku sendiri, dan berusaha menyelamatkan diriku sendiri dari cerita yang belum tentu kebenarannya. Aku meninggalkan dia dan cintanya, itu kenyataannya. Dan aku pun tidak berani untuk mengungkapkan perasaanku bahwa aku menyesal telah meninggalkannya dulu.
********

Semasa SMA aku dan Betha kembali menjalin hubungan, namun hubungan itu hanya sebatas sahabat. Setidaknya aku merasa senang, karena aku dapat kembali dekat dengannya. Di kemudian hari aku menjalin hubungan dengan adik kelasku ketika aku menginjak kelas 2. Yudhita namanya, seorang gadis Katolik yang baik dan cantik. Hubungan kami tidak berjalan lama, karena dia memutuskan hubungan kami tanpa sebab ketika hubungan kami menginjak waktu 2 bulan. Seketika aku dibuat kembali merasakan kepedihan lagi, karena gagal bercinta. Ketika aku merasakan kepedihan itu, bintangku muncul kembali, untuk menolongku dalam kesakitanku. Ya, Betha menolongku dari jurang kenestapaan itu, dia mencoba mengulurkan tangannya untuk membantuku kembali berdiri setelah aku terjatuh. Namun lagi-lagi karena kebodohanku, aku melewatkan satu kesempatan untuk menemukan bintangku. Aku menolak kehadiran dia di hatiku, dan dengan sombongnya berkata aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuanmu. Malahan, aku kembali menyakiti hatinya dengan kelakuanku, kembali meninggalkannya hanya karena egoku.

Waktu itu, siswa katolik SMA NEGERI 1 SALATIGA berkumpul untuk menjalani retret selama 3 hari 2 malam di Ungaran. Demikian aku dan Betha ada di dalamnya, ikut serta dalam kegiatan retret itu. Selama kegiatan retret aku dan Betha banyak berbincang, terlebih lagi karena kami berada dalam satu kelompok yang sama. Perasaan sayangku padanya mulai muncul kembali, demikian pula dirinya. Selama 2 hari 1 malam kami menjalani prosesi acara dalam retret tersebut, dan tanpa terasa kami menjadi semakin dekat. Pada malam kedua, banyak teman-teman yang berkumpul di dalam kamarku, demikian juga ada Betha disana. Malam semakin larut ketika satu per satu temanku kembali ke kamar mereka masing-masing. Hanya tinggal aku dan Betha yang ada di dalam kamar itu, dan aku masih menunggu teman-teman sekamarku kembali ke kamar. Sekitar 1 jam aku menunggu sambil berbincang-bincang dengan Betha, namun teman-temanku tidak kunjung kembali. Kemudian aku mematikan lampu kamar karena aku merasa mengantuk, dan merebahkan tubuhku di atas kasur, persis disebelah Betha berbaring. Kami berbaring sambil berbincang-bincang, dan tanpa sengaja ketika kami sedang berbincang, kami saling bertatapan muka. Entah apa yang menggerakkan aku saat itu, hingga akhirnya aku mencium bibirnya. Betha pun tidak menolak ciumanku, dan ciuman itu berlangsung dalam waktu yang  lama. Itulah ciuman pertamaku, dengan orang yang pertama kali benar-benar mencuri hatiku. Setelah ciuman itu berakhir, yang ada hanya perasaan malu sehingga kami hanya berdiam diri saja. Setelah sekian lama kami berdiam diri, aku tertidur. Keesokan paginya, aku terbangun dan kaget setengah mati. Melihat ada seorang gadis sedang tidur di sebelahku. Ya, Betha ternyata tidur bersamaku semalaman, satu kasur, satu selimut. Sungguh aneh karena waktu kami tidur bersama tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, karena kami telah sama-sama matang dalam segi biologis, dan gejolak perasaan tentang seks tentunya telah ada. Pikiranku hanya terpusat pada wajah Betha yang sedang tidur saat itu. Dia terlihat sangat cantik dalam tidurnya, membuat aku semakin dalam memandanginya. Seketika dia terbangun dari tidurnya, membuat aku salah tingkah. Diapun hanya tersenyum dengan manisnya, dan mengucapakan, “Selamat Pagi.”

Setelah malam itu aku semakin dekat dengan Betha, mencoba untuk kembali menyelami dan merebut hatinya lagi. Waktu itu aku beranikan diri untuk mengungkapkan pada Betha bahwa aku ingin memulai kisah kasih dengannya lagi. Namun jawaban darinya sungguh sangat mengecewakan, “Aku sedang ingin sendiri, Nang. Aku sedang ingin menata masa depanku.” Kata-katanya sungguh terasa sakit ketika melewati rongga telingaku. Aku kecewa, karena disaat aku ingin memilikinya lagi, dia seakan-akan sudah tidak merasakan apa yang aku rasakan saat itu padanya. Seiring berjalannya waktu aku tetap berkomunikasi dengan Betha, namun hanya sebatas teman. Sampai pada suatu hari, aku berpacaran dengan adik kelasku, ketika aku kelas 3 SMA. Diah Anita Sukmawati namanya, seorang gadis yang awalnya aku kira bintang yang selama ini aku cari. Hubunganku dengan Anita berjalan kurang lebih selama 1 tahun, semasa aku SMA. Namun masalah mulai muncul ketika aku dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak lama lagi aku akan lulus dari SMA, sehingga aku akan terpisah dalam hal jarak dengan Anita.

Setelah lulus SMA aku memutuskan untuk melanjutkan studi di Universitas Negeri Semarang, dan aku diterima disana. Disatu sisi aku merasa senang, karena aku diterima di Perguruan Tinggi yang aku inginkan, namun di sisi lainnya aku merasa sedih karena harus terpisah dengan Anita. Mulai timbul keraguan dalam hatiku tentang aku yang harus kuliah di UNNES, namun kata-kata Anita sedikit menghiburku. Dia mengatakan bahwa jarak bukanlah halangan bagi hubungan kami. Andaikan kami terpisah, itu tidak akan terjadi dalam waktu yang lama, karena dia berjanji padaku akan menyusulku di UNNES satu tahun kemudian, ketika dia lulus SMA. Kata-katanya sungguh melegakan hatiku, setidaknya memberiku pengharapan bahwa perpisahan kami hanyalah sementara saja. Namun harapan tetap saja menjadi harapan, ternyata janji yang diucapkan Anita kepadaku tetap hanya menjadi sebuah janji, tidak pernah terjadi. Baru satu minggu aku memulai perkuliahanku, secara tiba-tiba Anita memutuskan hubungan kami, dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi kecocokan di antara kami. Dia benar-benar meremukkan hatiku menjadi berkeping-keping, disaat aku dikuatkan oleh janjinya, namun kemudian dihancurkannya begitu saja. Dia menghempaskan semua anganku, membuang diriku dan semua janjinya padaku.
*******

Sekali lagi aku berteman dengan sepi, dengan kekalutan penuh derita dalam hidupku. Semua itu kurasakan begitu dalam hingga aku merasa tidak mampu berdiri lagi. Rasa sakit yang berulang kali aku rasakan ketika menjalin hubungan kasih, membuatku takut untuk memulai hubungan yang sama lagi. Aku terlalu takut untuk merasakan sakit itu lagi. Setelah aku putus dengan Anita, banyak wanita datang silih berganti ke dalam kehidupanku, namun tidak ada satupun dari mereka yang mampu sedikit saja menggerakkkan hatiku, yang mampu menyentuh hatiku. Yang aku rasakan saat itu hanya kekosongan yang penuh dalam hatiku, masa-masa tergelap dalam kehidupanku. Hampir satu tahun penuh ketika aku sudah mampu mengurangi sedikit demi sedikit rasa traumaku terhadap hubungan kasih. Waktu itu, saat aku menyusuri lorong tergelap dalam hidupku, aku melihat seberkas sinar yang begitu terang di ujung lorong itu. Ya, itu sinar dari bintangku, yang memanggilku untuk kembali bangkit dari keterpurukanku, Betha masuk kembali dalam kehidupanku. Dia menawarkan pertolongan yang sangat kubutuhkan saat itu, mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah sekian lama aku mengarungi waktu, dan mencoba berpetualang dalam kisah hidupku, aku akhirnya kembali ke satu titik, titik yang begitu nyaman untukku. Betha, satu-satunya bintang yang mampu membuatku begitu terisi  dalam kekosonganku, bintang yang mampu benar-benar mencuri hatiku. Sejak saat itu aku putuskan bahwa Betha adalah bintangku, bintang yang selama ini aku cari dalam hidupku. Aku meyakinkan diriku bahwa Betha adalah yang terakhir dalam hidupku.

Hubungan kasihku dengan Betha berjalan dengan jarak jauh, karena setelah lulus SMA Betha memutuskan untuk melanjutkan studi di Universitas Negeri Solo. Hal ini tidak menjadi masalah bagi kami berdua, karena kami menganggap bahwa jarak bukanlah halangan bagi hubungan kasih kami. Hubungan kasih kami berdua terlalu agung jika dibandingkan dengan jarak antara Semarang-Solo. Namun nampaknya masalah tidak pernah berhenti mendera kami berdua. Semua bermula ketika aku berkenalan dengan seorang gadis melalui jejaring sosial. Etna namanya, dan aku menganggapnya hanya sebagai teman biasa seperti yang lainnya. Namun perlakuanku padanya ternyata berbeda dengan perlakuannya kepadaku. Ternyata dia jatuh hati padaku. Yang menjadi masalah adalah sifatnya yang kekanak-kanakkan, dan lebih menjurus ke arah psikopat menurutku. Dia menganggap bahwa aku hanya boleh dimiliki oleh dia, dan tidak ada wanita lain yang boleh memilikiku. Ketika dia menyatakan perasaannya padaku, aku menolaknya karena aku tidak merasakan perasaan apapun ke dia. Namun dia sangat kecewa dengan keputusanku. Dia kemudian mengetahui tentang Anita yang dulu adalah kekasihku. Dalam pikirannya, aku masih mencintai Anita, sehingga aku tidak dapat menerima cintanya. Dia mulai mengintimidasi Anita dengan teror-terornya. Sebenarnya aku tidak peduli dengan terornya kepada Anita, namun yang aku takutkan adalah jika Betha nantinya diintimidasi oleh dia. Aku tidak ingin semua itu terjadi, oleh karena itu aku tidak menghubungi Betha untuk sementara waktu, sampai masalahku dengan Etna terselesaikan.

Satu bulan lamanya masalahku dengan Etna terus berlangsung. Aku mencoba untuk meyakinkan dia bahwa perbuatannya itu sungguh konyol . Namun nampaknya dia tidak peduli dengan semua kata-kataku. Akhirnya aku mencoba menyelesaikan masalah ini melalui orang tua Etna. Aku menjelaskan kepada mereka tentang semua yang terjadi antara aku dan Etna. Nampaknya masalahku dengan Etna akan segera berakhir, karena setelah dibujuk orang tuanya, Etna kemudian mau mengerti dengan keadaan yang ada. Aku sungguh bersyukur karena semua masalah itu telah selesai. Namun nampaknya masalah memang tidak pernah beranjak dari hidupku. Saat satu masalah selesai, muncul masalah yang baru, dan begitu berat untukku.

Waktu itu aku sedang membuka sebuah jejaring sosial, dimana aku dan Betha bergabung di dalamnya. Aku membuka profil Betha, dengan tujuan untuk menghubunginya lagi. Namun hal yang aku lihat saat itu benar-benar seperti petir yang menyambarku di siang bolong. Dalam profil Betha dicantumkan bahwa dia sedang berpacaran dengan seorang lelaki bernama Tiara Sebastian. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Betha bisa berpacaran dengan lelaki lain, aku serasa tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Akhirnya aku mencoba untuk menghubunginya lewat SMS, baru kemudian aku tahu, bahwa telah terjadi kesalahpahaman diantara kami berdua. Betha menganggap aku sudah tidak mencintainya lagi, sehingga aku tidak menghubunginya dalam waktu yang lama, dan kemudian dia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Tiara. Aku tidak mau kehilangan Betha untuk kesekian kalinya, aku sungguh bingung apa yang harus aku lakukan agar keadaan dapat kembali seperti sedia kala. Ketika aku mencoba menjelaskan padanya, tentang semua masalahku dengan Etna, dia hanya menjawab dengan senyum sendu. “Ya sudahlah, Nang. Semuanya sudah terlewatkan.” Jawaban yang sungguh menyesakkan bagiku, karena setelah aku sangat menyayanginya, aku harus kehilangan dia untuk kesekian kalinya. Ingin sekali rasanya aku berlari dari kenyataan, namun apa daya ini semua telah terjadi. Aku mencoba merenungkan apa yang telah terjadi padaku, dan aku mengutuk diriku sendiri. Seandainya waktu itu aku tidak mengenal Etna, tentunya semua ini tidak akan pernah terjadi. Namun semakin aku meratap semakin aku rasakan pedih yang tidak terkira, kenyataan bahwa waktu tidak akan pernah berputar kembali.

Aku mencoba ikhlas, saat aku menyadari bahwa Betha telah dimiliki oleh orang lain. Betha menginginkan aku untuk menjadi sahabatnya setelah semua yang terjadi itu. Namun ketika aku melihat dan mengingat, dirinya yang telah bersama orang lain, hatiku semakin terasa pedih. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi jauh dari dirinya. Betha, bintang yang bersinar paling terang dihatiku, namun sinarnya menyakitkan mataku jika kulihat dari dekat, oleh karena itu aku memutuskan untuk pergi, dan mengawasinya dari jauh. Mencoba untuk tetap menjaga perasaan ini, hingga saatnya Betha kembali padaku. Semakin jauh aku melangkahkan kaki, perasaanku sedikitpun tidak berubah. Aku tetap mencintai dirinya. Bintangku, yang mampu benar-benar mencuri hatiku, dan akan selalu bersinar paling terang di dalam hatiku.
*********








                                                          
MENCARI BINTANG
                                                        


Bukan CINTA namanya,
Jika membuat orang yang kita CINTA
Meninggalkan orang yang dia sayangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut